Sabtu, 17 Juli 2010

Rendahnya Penghargaan pada Nilai Kepahlawanan

Jakarta - Nasib miris menimpa dua janda pahlawan. Ny Soetarti Sukarno dan Ny Rusmini. Keduanya berusia 78 tahun. Mereka disidangkan gara-gara masih menempati rumah dinas milik Perum Pegadaian di daerah Cipinang Jaya Jakarta Timur.

Suami mereka adalah para pejuang Tentara Pelajar Indonesia (Veteran RI) dan memperoleh bintang gerilya dari Presiden Soekarno. Gusuran dan penahanan janda para pahlawan membawa efek psikologis yang dalam bagi segenap anak bangsa. Para janda pahlawan tersebut telah dikriminalkan oleh pemerintah yang berkuasa di atas negeri yang dibela mati-matian oleh para almarhum suami mereka.

Sebenarnya karena jasa mendiang suami-suami merekalah negeri ini bisa berdiri. Padahal begitu banyak pejabat pemerintah negeri ini yang bergelimang uang bahkan dengan mudah membeli rumah dinas yang mereka tempati kurang dari 10 tahun. Mungkin zaman saat ini sudah tidak berpihak kepada kaum Veteran lagi, yang uang pensiunnya tidak seberapa, dan tidak cukup untuk hidup di kota besar seperti Jakarta ini.

Kejadian tersebut sungguh sangat ironi jika dibandingkan dengan perkataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta agar tahanan anak dan lansia sebaiknya diberi perlakuan khusus. Tetapi, memang lidah tidak bertulang. Lain kata lain pula realisasinya.

Kuntoro Mangku Subroto, Kepala Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengaku persoalan tersebut memang belum menjadi salah satu agenda yang dibicarakan dalam rapat-rapat terbatas bidang kesejahteraan rakyat (kesra) yang dipimpin Presiden SBY. Begitulah 'rendah'-nya penghargaan pemerintahan saat ini (SBY) kepada nilai 'Kepahlawanan' yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan yang telah mendapat bintang gerilya dari Presiden RI ini.

Lembaran piagam penghargaan dan lencana Bintang Penghargaan yang dikeluarkan pemerintah hanyalah ternyata hanya serentetan tulisan hitam di atas putih yang tiada arti. Tidak ada nilai penghargaan terhadap tetes darah dan nyawa yang mereka pertaruhkan demi 'Kemerdekaan' negeri ini.

Anda mungkin masih ingat salah satu nama pengibar bendera merah putih saat Hari Proklamasi, 17 Agustus 1945, beliaulah Ilyas Karim (82). Setelah 64 tahun merdeka, pengibar bendera pusaka itu saat ini hidup terlunta-lunta. Di sebuah rumah kumuh di pinggir rel kereta yang bakal digusur.

Selain tidak mendapat santunan Ilyas juga tidak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah. Tak ada perhatian dari pemerintah. Sejak zaman Presiden Soeharto sampai sekarang (SBY), yang ada hanya janji-janji surga. "Dahulu saya dijanjikan mau diperhatiin, tetapi ternyata semuanya omong kosong," ujarnya.

Sejak pensiun pada 1979 kehidupan Ilyas tak tentu arah. Puncaknya, pada 1982 ia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi di Lapangan Banteng Jakarta Pusat. "Saat itu ada sekitar 50 rumah para pejuang Siliwangi dirubuhkan. Tak ada ganti rugi dari pemerintah saat itu," kenang Ilyas.

Kini, rumah yang sudah ditinggalinya selama 24 tahun itu bakal digusur. Untuk kesekian kali, pejuang yang mendapat gelar kehormatan "Bintang Pejuang Kemerdekaan RI" itu pun kembali was-was. "Saya mau diusir dari sini. Sudah ada surat pemberitahuan dari lurah. Saya harus hengkang dari sini," kata Ilyas memelas. Ia belum tahu akan pergi ke mana.

Yang lebih ironis lagi perintah pengusiran itu datang dari Gubernur DKI Fauzi Bowo. Ilyas agak geram ketika menyinggung nama Fauzi alias Foke itu sebab Ilyas masih ingat janji-janji Foke saat berkampanye. "Tolonglah bantu saya. Kalau dibantu saya akan bantu rakyat kecil," tiru Ilyas.

Yang tak kalah geram lagi adalah ketika Ilyas menceritakan janji-janji SBY kepada dirinya. "Dulu waktu pemilu, SBY menemui saya. SBY minta dibantu kampanye dengan menggunakan jaringan Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia. Waktu itu SBY berjanji akan memperhatikan nasib para pejuang kalau jadi presiden. Tapi, mana buktinya sekarang," tutur Ilyas yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia sejak 1996 itu.

Ilyas pantas kecewa. Sebab, dia yang berstatus sebagai pejuang saja dinistakan, apalagi rakyat biasa yang tak punya jasa dan kuasa. Padahal, di usia senjanya, pejuang yang kini menderita stroke mata itu seharusnya bisa tidur nyenyak. Tapi, ia masih terus berjuang memerdekakan dirinya, dari penggusuran kaumnya.

Permintaan juga datang dari Sulistina Sutomo (84) istri pahlawan nasional Bung Tomo (Alm) yang meminta kepada pemerintah SBY agar lebih memperhatikan kelangsungan hidup keluarga para pejuang atau pahlawan di Indonesia. Dirinya mewakili janda pahlawan nasional berharap janji-janji pemerintahan SBY - Boediono terhadap nasib mantan pejuang (veteran) dilaksanakan dengan baik. Sulistina juga berharap agar ada rumah yang layak bagi para mantan pejuang.

Andrian
Pancoran Jakarta Selatan
asus09@gmail.com
089684003065






http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/17/130042/1401219/471/rendahnya-penghargaan-pada-nilai-kepahlawanan?882205470