Tumbuhnya kesadaran terhadap masalah lingkungan, jauh sebelum dilaksanakan KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992 telah mendorong para sarjana dan penjuang lingkungan dari berbagai negara, tepatnya di tahun 1970an, memberikan warning kepada negara-negara di belahan dunia agar mempertimbangkan kembali dampak kehidupan dan tindakan sehari-hari terhadap kerusakan lingkungan.
Pandangan-pandangan para sarjana yang memperjuangkan lingkungan ini dikenal dengan konsep Green Thought. Mereka memaparkan grand design lingkungan melalui pendekatan ‘isi’ atau ‘penyelesaian masalah’ terhadap permasalahan lingkungan. Mereka berasumsi bahwa sistem negara kontemporer, struktur utama perekonomian global dan bahkan institusi-institusi global, serta pemanfaatan ilmu dan teknologi modern terhadap lingkungan hidup, dalam beberapa hal bisa dianggap sebagai penyebab atau yang bertanggung jawab atas terjadinya degradasi lingkungan dan pemanasan global.
Oleh karena itu, Green Tought menuntut negara-negara mempertimbangkan perubahan-perubahan radikal dalam memberikan penghargaan bagi spesies non-manusia, dengan menyampaikan penolakan terhadap pandangan-pandangan atroposentris; menolak strategi pembangunan yang terlalu melihat sisi ekonomi tanpa menghiraukan sisi lingkungan; mempertimbangkan etika berdasarkan ‘teori tentang nilai yang peduli pada lingkungan’ dan memegang komimen dalam penerapan perubahan yang diperlukan untuk mencapai masa depan yang ‘hijau’.
Desakan dari berbagai ilmuwan dunia dan negara-negara yang terdampak oleh efek perubahan iklim mendorong PBB sebagai badan negara dunia melakukan upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim secara global dengan melaksanakan KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Upaya yang dilakukan lembaga negara dunia ini merupakan wujud dari realisme politik negara-negara dunia yang mengusung kepentingan nasional masing-masing dalam memecahkan persoalan perubahan iklim dan pemanasan global yang melanda dunia. Selain itu wujud realisme politik juga tergambar dalam proses tarik ulur yang terjadi di antara negara-negara maju yang tergolong dalam Annex I dalam merumuskan dan menyusun draft solusi tentang kewajiban yang harus ditanggung negara-negara maju dan langkah-langkah yang bisa diikuti negara berkembang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar