Selasa, 18 Mei 2010

Teori Green Thought

Green Thought an Overview

(part 1)

Dunia dalam Pamikiran Hijau

· Kelompok pemikir hijau menuntut perubahan secara radikal pada pola organisasi sosial politik dan adanya penghargaan terhadap spesies non-manusia.

· Penolakan terhadap pandangan dunia yang anthropocentric

· Penolakan terhadap strategi pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai standar kualitas kehidupan.

· Mereka percaya bahwa karena ulah manusia lah yang telah menciptakan ancaman bagi keberlansungan umat manusia dan spesies lainnya.

· Perlu adanya perubahan yang fundamental dalam struktur sosial, ekonomi dan politik serta ideology dan sistem nilai.

· Pemisahan yang tegas antara kebutuhan vital dan non-vital.

· Perlu adanya etika yang didasarkan pada “nilai teori hijau” yang menempatkan sebuah nilai intrinsik pada kehidupan non-manusia

· Perlu adanya komitmen yang proaktif untuk perubahan signifikan demi mencapai masa depan lingkungan, termasuk mempromosikan gaya hidup alternative, norma dan nilai serta desentralisasi kekuasaan.

Permasalahan lingkungan hidup (ekologi) [1] selama dekade 60-an dan 70-an telah mulai merebak menjadi isu global dalam masyarakat dunia. Suara-suara protes yang awalnya cuma dari kalangan minoritas pecinta lingkungan seperti ilmuan, aktivis gerakan dan kelas menengah telah mampu membawa isu ini manjadi perhatian mayoritas publik di dunia. Ini bisa dilihat dengan terealisasinya konferensi Lingkungan Hidup PBB untuk pertama kalinyan pada tahun 1972 di Stockholm, yang membahas Hukum Internasional Lingkungan, dan mulai kerjasama Internasional dalam permasalahan lingkungan hidup. Bahkan dari konferensi ini dimulai debat internasional akan permasalahan lingkungan hidup.

Disamping itu, aktivis gerakan lingkungan hidup terus tumbuh dan berkembang khususnya di kawasan Eropa dan Amerika. Mereka mengecam modernitas dengan produk industrialisasinya sebagai salah satu biang terjadinya permasalahan lingkungan yang semakin kuat. Sebagai contoh kelemahan utama dari cara hidup masyarakat industri dengan “etos” ekspansi adalah cara hidup itu tidak dapat langgeng. Masa keberlansungannya hanya sebatas usia seseorang yang lahir pada hari ini. Maka sangat diperlukan tindakan radikal karena pertumbuhan jumlah penduduk dunia saat ini; dan pendapatan perkapita yang semangkin meningkat pada satu pihak, dan di lain pihak semangkin rusaknya sistem lingkungan serta berkurangnya sumber daya, semuanya itu sangat merusak sendi-sendi dasar bumi untuk mampu bertahan hidup. Dengan sendirinya, bumi kita ini tidak mampu lagi untuk menampung semua tuntutan ekologi yang semangkin meningkat. Pertumbuhan apapun yang tanpa batas tidak akan dapat dilestarikan dengan sumber daya yang terbatas. Inilah simpul yang sangat kuat dari posisi yang kurang menguntungkan bagi lingkungan hidup.[2]

Gerakan lingkungan hidup yang muncul dan berkembang pada dekade 70-an dan 80-an mendapat dukungan publik yang belum pernah sedemikian kuatnya selama abad ini. Alasan pertama adalah bahwa kelompok-kelompok kepentingan yang bermunculan di sekitar masalah lingkungan adalah kelompok yang sangat mengedepankan kepentingan masyarakat umum, dan sama sekali tidak menonjolkan pamrih individu atau kelompok tertentu. Mereka tidak terikat sama kelompok kekuasaan sehingga benar-benar indenpenden.

Dukungan publik yang begitu luas yang mampu menghadapi mereka, memberi pengaruh politis. Alasan yang lain adalah, bahwa jumlah kelompok atau organisasi lingkungan baik kecil maupun besar, nasional maupun sampai keluar batas negara yang berupaya mengadakan perubahan sosial dalam tahun 1970-an, adalah kelompok yang belum dikenal sebelumnya tetapi bertumbuh pesat dalam jumlah organisasinya. Mulai dari beberapa ratus saja pada awal tahun 1970-an menjadi sekitar 3000 pada akhirnya, dan mulai dengan hanya beberapa gelintir penggerak pada awalnya sampai berjumlah jutaan orang di seluruh negeri, dengan berbagai corak kegiatan.[3]

Diantara sekian banyak kelompok-kelompok gerakan lingkungan hidup dengan berbagai variasi kegiatan.[4] Seiring dengan itu juga muncul kegiatan-kegiatan radikal sayap kiri turunan marxist seperti new left (kiri-baru), maupun Gerakan feminisme, bahkan sampai anarchisme, yang mengkritik modernitas dengan proyek industrialisasi telah menimbulkan permasalahan baru dalam kalangan umat manusia. Seperti kritik Max Hokheimer dan Theodor Adorno dalam Dialektik der Auflarunk (Dialektika Pencerahan), dengan tegas mereka melontarkan bahwa berbagai industri kebudayaan ala pencerahan tidak lebih sebagai penipuan masa, ketika film-film dan radio tidak lagi berpretensi seni, berbagai teknologi, mesin penjawab bukan lagi diasumsikan sebagai pencapaian rasionalitas modernitas akan tetapi tidak lebih dari bagian dari pengekangan mitos-mitos baru. Pengukuhan kapitalisme sebagai idea utama dalam masyarakat modern begitu kritik mazhab Frankfurt ini. Imbasnya muncul lingkaran manipulatif kebudayaan yang tidak lain dijadikan komoditas industrialisasi yang punya nilai jual beli, bukan lagi pada porsi sesungguhnya, untuk menjadikan manusia sebagai makluk yang bermartabat.[5]

Berbagai kelompok radikal tersebut mulai mengkritik kapitalisme malalui pisau analisa lingkungan hidup. Secara sederhana, dalam pandangan mereka, prilaku serakah manusia membuat bukan saja manusia menjadi korban tetapi juga lingkungan tempat manusia itu hidup. Jika lingkungan menjadi korban, bukan manusia yang hidup sekarang saja yang bakal menjadi korban, akan tetapi manusia yang hidup di masa mendatang.

Berawal dari kesadaran tersebut, gerakan-gerakan lingkungan yang berasal dari tradisi kiri mulai marak bermunculan awal 1970-an, inspirasinya berawal dari kalangan akademis dan ilmuan yang sadar akan bahaya krisis lingkungan. Sebelumnya gerakan ini hanya menyadarkan diri pada kitik Karl Marx terhadap kapitalisme, menurut Marx, kepemilikan adalah sumber dari segala bencana manusia, selama manusia masih serakah mengumpulkan harta untuk dimilikinya praktek penghisapan si kaya terhadap si miskin akan terus berlansung.

Sehingga Klop, disaat komunisme memperoleh kecaman masyarakat dunia, sebagai akibat dari praktek ideologi tersebut di Uni Soviet yang melahirkan rejim otoriter dan sama sekali tidak membebaskan rakyat. Sehingga komunisme ditinggalkan, banyak mahasiswa gerakan-gerakan radikal kiri tersebut mencari alternatif seperti menggunakan isu lingkungan sebagai platform gerakan mereka untuk mengkritik proyek-proyek kapitalis.

Senada dengan gerakan itu pula, isu lingkungan pun menjadi komoditas dalam ranah politik baik dalam tingkatan lokal, nasional bahkan internasional. Politik lingkungan yang lebih sering disebut politik hijau (Green Politics) mulai melakukan perubahan-perubahan. Awalnya yang hanya berupa bentuk gerakan aksi, mencoba melembagakan diri ke dalam bentuk institusi partai politik. Asumsinya. Gerakan aksi saja tidaklah cukup untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Sehingga dibutuhkan institusi seperti partai politik yang bisa menjadi bagian pengambilan kebijakan (stake holder). Dus, gerakan politik hijau yang awalnya hanya dalam bentuk gerakan aksi dijalan akhirnya bermetamerfosis ke dalam bentuk institusi partai. Fenomena ini awalnya berkembang di negara-negara Eropa, Amerika, dan di negara-negara Scandinavia. Untuk Eropa misalnya, perkembangan sangat dinamis terjadi di negara Republik Federal Jerman. Bahkan kesuksesan Partai Hijau (Bundnis 90/Die Grunen) menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan lingkungan di berbagai negara lain, THE MHOTHER OF GREEN PARTY ­– panggilan yang diberikan oleh partai hijau sedunia bagi Die Grune. Green Party United State Of America (GPUSA), misalnya yang awalnya dibentuk sebagai Committes Of Correspondence pada suatu pertemuan di Minneapolis pada tahun 1984, meniru model organisasi serupa di Jerman, German Greens, yang pada tahun sebelumnya berhasil memenangkan 27 kursi di Parlemen Jerman (Bundestag).[6]

Pemikiran Politik Hijau

Pendekatan yang paling popular untuk manjelaskan munculnya fenomena gerakan hijau (The Greens) tercakup pada terminologi perubahan struktur sosial dan perubahan prioritas nilai dalam masyarakat paska industri. Menurut pandangan ini berawal dari munculnya sekelompok kalangan pedidikan kelas menengah baru yang memikirkan nasib Eropa Barat di bawah kondisi sosial yang relatif makmur dan damai. Orientasi nilai yang mereka miliki tidak selamanya bersesuian dengan paradigma tradisional kiri-kanan, seperti dalam Politik tradisional.

Menurut Ronald Inglenghart dari penelitiannya secara nasional, kehadiran greens merupakan fenomena paska materialis (post materialism) bahwa fenomena ini tidak bisa lepas dari adanya kecendrungan perubahan dalam masyarakat paska industri, dimana adanya pergeseran dari ‘nilai-nilai kelangkaan’ ke nilai-nilai ‘pasca materialis”, dan sekaligus perubahan distribusi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan jalur-jalur kelas seperti dikotomi kiri-kanan.

Dengan mengumpulkan materi survei dari serangkain negara industri, Inglehart menunjukan bahwa nilai-nilai pencapaian dan pertumbuhan ekonomi memudar seiring meningkatnya kemakmuran, sehingga masyarakat memperlihatkan lebih besarnya sensivitas mereka akan isu kualitas hidup, yang menyangkut seperti lingkungan, niali-nilai kebebasan berekspresi dan partisipasi[7].

Lebih lanjut, Politik Hijau merupakan isu baru dalam kamus politik kotemporer, perkembangan dari gerakan politik ini, tidak hanya muncul dan berkembang dalam fora politik nasional, akan tetapi sudah ikut berkembang dalam tingakat regional bahkan global (politik internasional), sebut saja di tingkat Uni Eropa, Partai Hijau ikut berperan di Parlemen Eropa seperti Le Verst dari Perancis yang bergabung dengan Bundnis90/The Grunen dari Jerman. Bahkan gebrakan-gebrakan Politik Hijau ini juga mempengaruhi hubungan antar negara (Terakhir pertingkaian antara Jerman dengan Amerika dalam masalah Irak, tidak terlepas dari peran partai Hijau Jerman) dan juga organisasi-organisasi internasional lainnya, seperti PBB.

Menurut Tim Heayward, Teori Politik Hijau (Green political theory) adalah khusus diambil dari fakta bahwa manusia merupakan bagian dari alam yang memiliki implikasi bagi teori politik. Dengan demikian manusia tidak hanya dilihat sebagai individu yang rasional (seperti dalam pandangan liberalism) atau sebagai makluk sosial(seperti pandangan sosislisme) akan tetapi sebagai natural beings, dan lebih jauh sebagai political animals[8].

Sedangkan menurut Mathew Patterson perlu untuk membedakan antara green politics dan environmentalism. Environmentalis menerima kerangka kerja yang ada dalam politik, sosial, ekonomi dan struktur normative dalam dunia politik dan mencoba memperbaiki masalah lingkungan dengan struktur yang ada tersebut. Sementara Politik Hijau menganggap bahwa struktur tersebut sebagai dasar utama bagi munculnya krisis lingkungan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa struktur tersebut butuh perubahan dan perhatian yang lebih utama[9].

Pada table 1.1, memperlihatkan perbedaan antara pola gerakan lingkungan hidup yang di dasarkan pada ideologi politik maupun ideologi ekonomi. Gerakan lingkungan hidup ini dibedakan antara gerakan lingkungan radikal dan gerakan lingkungan reformis[10].

Kelompok reformis berangkat dari pandangan umum ideologi budaya liberalisme, demokrasi (seperti yang di praktekan oleh partai buruh dan sosial demokrat), dan sosialisme. Melalui pendekatan ini, mereka mencoba memperbaiki sistem kapitalisme manjadi lebih baik, sebagai reaksi terhadap permasalahan lingkungan,. Mereka mengadopsi persfektif yang dikenal dengan teknosentris. Paham teknosentrisme diyakini sebagai ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen ekosistem yang rasional adalah sebagai jalan keluar terhadap permasalahan lingkungan. Argumen ini lebih jauh mempertanyakan seberapa banyak keterlibatan negara dalam ekonomi pasar. Sementara ide pasar bebas tidak akan mengurangi pengelompokan kekuatan pasar, sehingga meningkatnya kepemilikan individu terhadap lingkungan akan mempengaruhi kondisi objektif lingkungan itu sendiri.

Untuk itu kelompok ini menyarankan jalan keluar dengan peningkatan pajak lingkungan (eco-taxes), insentif, dan regulasi perusahaan-perusahaan dan kepemilikan individu. Berangkat dari pandangan yang sama, kelompok konservatif menawarkan proteksi dengan konsep pemeliharaan lingkungan, seperti yang diadopsi dalam program lingkungan Uni Eropa yang dikenal dengan ‘prisip pencegahan’nya. Mereka menolak kemungkinan pembangunan menghasilkan ketidakpastian terhadap kondisi lingkungan. Konservatif tradisional bersikap sama yang termanifestasi dalam sindrom ‘Not In My Back Yard’(NIMBY), yang mencoba menyerahkan permasalahan polusi dan kerusakan lingkungan kepada komunitas dan negara yang relatif berperan, atau sederhananya tidak bisa melawan mereka untuk alasan politik atau ekonomi[11].

Bertolak belakang dengan aliran reformis, gerakan lingkungan radikal justru lebih pro aktif, melihat permasalahan lingkungan pada akarnya lebih dari sekedar reaksi sederhana terhadap kerusakan yang disebabkan oleh operasi kapitalisme global. Untuk itu diperlukan perubahan sosial yang fundamental, yang salah satunya dengan pengeliminasian atau lebih lengkap merekonstrukturisasi kapitalisme. Jadi perdebatan tentang lingkungan bergeser dari pendekatan cultural/ekonomis dan menjadi perlawanan-kultural yang sering digambarkan dalam tradisi perlawanan kultural seperti romantisme, anarkisme, sosialisme utopis dan lain sebagainya. Pendekatan ini mencakup:

· Social Ecology, secara garis besar didasarkan pada prisip anarkis yang terutama di interprestasikan dalam kerja Murray Bockin (e.g. 1990)

· Eco-socialism, bersifat libertarian, desentralistis dan komunalis dalam prinsipnya, berangkat dari pemikiran sosialisme yang pada akhirnya di hadapkan pada negara,

· Deep Ecology, memfokuskan pada perubahan yang fundamental dalam sikap dan nilai terhadap alam. Mengajak masyarakat dimanapun untuk menyesuaikan diri dengan prisip ekologi (seperti prinsip ‘kapasitas memiliki’ yang berimplikasi terhadap batasan pertumbuhan penduduk dan ekonomi[12].

Regards,

Apriwan Bandaro



[1] Gejala-gejala lingkungan hidup ( ekologi ) yang sekarang terjadi seperti:

* Lapisan ozon yang melindungi bumi pada garis lintang utara bumi yang padat penduduknya menipis dua kali lipat lebih cepat daripada yang diperkirakan oleh para ilmuan beberapa tahun sebelumnya.

* Sekurang-kurangnya 140 jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan punah setiap harinya.

* Tingkat karbon dioksida di atmosfer yang merupakan perangkap panas, sekurang 26% lebih tinggi daripada konsentrasi dari zaman pra industri dan kinipun masih tetap meningkat

* Permukaan bumi lebih panas dalam tahun 1990 daripada tahun sebelumnya sejak pencatatan mulai dilakukan pada pertengahan abad kesembilan belas,dan dan enam dari tujuh tahun-tahun yang tercatat paling panas terjadi sejak tahun 1980.

* Hutan-hutan lenyap dengan kecepatan sekitar 17 hektare pertahun, suatu kawasan yang luasnya kira-kira setengah hari luasnya seluruh luasnya negara Finlandia.

Penduduk bumi bertambah dengan 92 juta jiwa pertahunnya, kira-kira sama banyaknya dengan penduduk negara meksiko; dari jumlah itu 88 juta orang merupakan penambahan penduduk di negara berkembang.

Lihat, Brown, Lester R, Ed., Jangan biarkan bumi merana, Laporan World watch Institute, Yayasan Obor Indonesia, 1992, hln 2, Lihat juga Greens Century, Time, September 2, 2002

[2] Kirk Patrik Sale, Revolusi Hijau : Sebuah Tinjauan Historis-krisis Gerakan Lingkungan Hidupdi Amerika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 36

[3] Ibid, 39

[4] Gerakan Lingkungan Hidup seperti; 1) Greenpeace, dibentuk 1971 sebagai kritik terhadap uji coba nuklir, kemudian melebar dengan kampanye “semalatkan Ikan Paus”, sampai dasawarsa terakhir tetap intens malakukan kampanye sampai masalah hutan tropis dan masalah limbah industri beracun. 2) Worldwatch Institute, sebuah pusat penelitian dan studi, di prakasai oleh Lester Brown pada tahun 1975 untuk mengumpulkan informasi dari seluruh dunia akan masalah-masalah lingkungan

[5] Theodore Adorno dan Marx Horkheimer, Dialektika pencerahan, penterjemah, Ahmad Sahida, IRCISOD, Yokyakarta, 2002, hln. 24

[6] Kirk Patrik Sale,Op Cit, hlm 87

[7] E. Gene Frankland and Donal Schoomaker, Between Protest and Power: The Green Party in Germany, Westview Press, Oxford, 1992, hlm. 3

[8] Tim Harward, green political theory, Unuversity of Edinburd, diakses dari http://www.psa.ac.uk/cps/1996/hayw.pdf pada tanggal 17 oktober 2002

[9] Mattew Patterson, Green Political dalam International Relation Theory, ed., Scoot Burchill dan Andrew Linklater, St. Martin’s Press. Inc, New York, 1996, hlm.252

[10] David Pepper, Environmentalism, dalam Gary Brownig, etc (ed), Understanding Contemporary Society (Theories and the Present), SAGE Publication, London, 2000, hal.447

[11] Ibid

[12] Ibid


http://aprieview.wordpress.com/2008/11/27/green-thought-an-overview/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar